Melindungi Korban KDRT dalam Gugatan Perceraian
Oleh : Robet Dawit Sanjaya,S.H.,M.H.
Seorang wanita duduk gemetar di ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Agama Jogjakarta. Matanya berkaca-kaca saat menceritakan penderitaan yang dialaminya selama satu bulan terakhir. Bekas lebam di wajahnya masih terlihat samar. "Saya tidak tahan lagi, Pak. Suami saya sering main tangan," ucapnya lirih.
Kisah ini bukanlah sekadar fiksi. Ini adalah realitas yang kerap terjadi di ruang-ruang pengadilan kita. Sebelum terbitnya SEMA No 3 Tahun 2023, banyak korban KDRT yang harus menunggu minimal 6 bulan sebelum dapat mengajukan gugatan cerai. Sebuah "hukuman" tambahan yang harus mereka tanggung di tengah trauma kekerasan yang dialami.
Mahkamah Agung, melalui SEMA No 3 Tahun 2023, akhirnya memberi angin segar. Regulasi ini hadir sebagai pengecualian dari ketentuan "minimal 6 bulan pisah" dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Ketika terbukti ada unsur KDRT, gugatan dapat diproses tanpa harus menunggu waktu tersebut.
Ini adalah terobosan yang sangat berarti. Pengadilan tidak lagi sekadar menjadi "gedung" tempat mencari keadilan, tapi benar-benar hadir sebagai pelindung bagi mereka yang tertindas. SEMA ini menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah perkara "rumah tangga biasa" yang bisa ditolerir atau diberi waktu untuk berdamai.
Namun, penerapan SEMA ini juga membutuhkan kehati-hatian dan kearifan dari aparatur pengadilan. Petugas Informasi sebagai garda terdepan harus mampu melakukan identifikasi awal tentang ada tidaknya unsur KDRT. Mereka perlu dibekali pemahaman yang memadai tentang berbagai bentuk KDRT - tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga psikis, ekonomi, dan seksual.
Adanya penyempurnaan rumusan hukum Kamar Agama angka 1 huruf b pain 2 dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2022 menjadi "Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 (enam) bulan kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat/Penggugat melakukan KDRT."
Hakim pun dituntut untuk lebih cermat dalam memeriksa bukti-bukti KDRT. Visum et repertum, laporan polisi, atau kesaksian dapat menjadi pertimbangan. Namun yang lebih penting adalah kemampuan untuk menggali kebenaran materil di balik setiap pengakuan korban.
SEMA No 3 Tahun 2023 adalah manifestasi dari asas hukum progresif yang menempatkan keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Ia mencerminkan kepekaan pengadilan terhadap realitas sosial, khususnya masalah KDRT yang masih menjadi momok dalam masyarakat kita.
Dengan adanya SEMA ini, diharapkan tidak ada lagi korban KDRT yang harus menahan derita lebih lama hanya karena terhalang prosedur formal. Karena pada akhirnya, pengadilan harus menjadi tempat di mana keadilan tidak hanya diucapkan, tapi juga dirasakan - terutama oleh mereka yang paling rentan.
Sebagai penutup, mari kita ingat bahwa setiap hari keterlambatan dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban KDRT bisa berarti perpanjangan penderitaan atau bahkan ancaman nyawa. SEMA No 3 Tahun 2023 adalah langkah tepat menuju pengadilan yang lebih humanis dan berkeadilan.
[Penulis adalah praktisi hukum yang concern terhadap isu-isu keadilan gender dan perlindungan korban KDRT]
#HukumProgresif #PerlindunganKorbanKDRT #KeadilanGender #ReformasiPeradilan