Made Ridho
Tren hashtag #KaburAjaDulu di platform X (Twitter) telah menjadi fenomena yang menarik perhatian publik Indonesia belakangan ini. Tagar ini muncul sebagai bentuk ekspresi kekecewaan generasi muda terhadap berbagai permasalahan di tanah air, khususnya terkait mahalnya biaya pendidikan.
Kemunculan tagar #KaburAjaDulu bukan tanpa sebab. Generasi muda Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari biaya pendidikan yang terus meningkat, persaingan kerja yang ketat, hingga kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Bagi sebagian anak muda, emigrasi ke luar negeri dipandang sebagai solusi untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya yang lebih terjangkau, atau peluang kerja dengan pendapatan yang lebih menjanjikan.
Meskipun sebagian menganggap tagar ini hanya sebagai lelucon atau ekspresi kekecewaan sesaat, #KaburAjaDulu sesungguhnya mencerminkan keresahan nyata. Tingginya biaya pendidikan di Indonesia, terutama untuk perguruan tinggi dan program pascasarjana, memang menjadi beban berat bagi keluarga menengah ke bawah. Banyak mahasiswa yang harus bekerja sambilan atau bahkan menunda kuliah karena kendala biaya.
Tren ini memiliki dua perspektif yang perlu dipertimbangkan:
Dari sisi positif, keinginan untuk belajar di luar negeri dapat memperluas wawasan, meningkatkan kompetensi, dan membuka jaringan global. Pengalaman internasional juga berpotensi memperkaya modal intelektual dan sosial yang bisa dibawa kembali untuk membangun Indonesia.
Namun dari sisi lain, fenomena ini juga mengisyaratkan adanya permasalahan sistemik dalam pendidikan nasional yang perlu ditangani. Jika banyak talenta muda yang memilih meninggalkan Indonesia, negara berpotensi kehilangan sumber daya manusia berharga untuk pembangunan.
Bagi para generasi muda yang tergerak oleh tagar #KaburAjaDulu, penting untuk mempertimbangkan beberapa hal:
Persiapkan diri dengan matang jika ingin melanjutkan pendidikan atau berkarir di luar negeri. Pahami secara mendalam negara tujuan, sistem pendidikannya, biaya hidup, dan peluang beasiswa.
Pertimbangkan juga alternatif di dalam negeri. Beberapa perguruan tinggi Indonesia telah mengembangkan program berkualitas dengan biaya yang lebih terjangkau.
Libatkan diri dalam upaya perubahan sistem pendidikan di Indonesia melalui advokasi kebijakan, pengembangan inovasi, atau kontribusi sosial.
Tren #KaburAjaDulu seharusnya menjadi momentum refleksi bagi para pengambil kebijakan. Indonesia perlu mengembangkan sistem pendidikan yang lebih inklusif, terjangkau, dan berkualitas. Peningkatan alokasi anggaran pendidikan, pengembangan program beasiswa, dan perluasan akses pendidikan tinggi merupakan langkah-langkah strategis yang perlu diprioritaskan.
Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekedar tren media sosial, melainkan cerminan aspirasi dan keresahan generasi muda Indonesia. Dengan dialog yang konstruktif dan kebijakan yang berpihak pada pendidikan berkualitas, Indonesia dapat mempertahankan dan mengembangkan potensi generasi mudanya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Langit Jakarta memanas saat ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul dalam aksi "Indonesia Gelap" pada Kamis, 20 Februari 2025. Mereka datang tidak hanya sebagai penuntut ilmu, tetapi juga sebagai penjaga nurani bangsa yang mengkhawatirkan arah kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto.
Diawali dari aksi di Patung Kuda Jakarta pada 17 Februari 2025, semangat penolakan kebijakan pemerintah menyebar cepat layaknya api dalam sekam. Dari Sabang hingga Merauke, dari Aceh hingga Bali, mahasiswa turun ke jalan dengan membawa spanduk-spanduk bertuliskan kritik terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang dinilai mengancam masa depan bangsa.
"Kami memilih tanggal 20 Februari bukan tanpa alasan," jelas Herianto, Koordinator Pusat Aliansi BEM SI. "Ini momen strategis saat 481 kepala daerah dilantik. Kami ingin mereka mendengar suara rakyat sebelum duduk di kursi kekuasaan."
Aksi "Indonesia Gelap" membawa lima tuntutan yang menjadi barometer kegelisahan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah:
Pencabutan Kebijakan Pemangkasan Anggaran
Mahasiswa menilai efisiensi yang digaungkan pemerintah berpotensi melemahkan layanan publik dan program-program sosial yang vital bagi masyarakat.
Transparansi Pembangunan
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang seharusnya menjadi lokomotif kemajuan, justru dianggap membawa malapetaka bagi warga terdampak. "Pembangunan seharusnya membawa kesejahteraan, bukan penggusuran dan air mata," ungkap salah satu orator dalam aksi tersebut.
Penolakan Revisi UU Minerba
Para mahasiswa menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara akan semakin membuka lebar pintu eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Penolakan Dwifungsi TNI
Kekhawatiran akan kembalinya era militer dalam ranah sipil menjadi salah satu poin kritis yang disuarakan. Mahasiswa menilai hal ini sebagai ancaman terhadap demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Pengesahan RUU Perampasan Aset
Sebagai upaya pemberantasan korupsi yang sistematis, mahasiswa mendesak pemerintah untuk serius mengesahkan RUU Perampasan Aset, yang dinilai dapat memberikan efek jera bagi para koruptor.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi berusaha menenangkan gelombang protes dengan pernyataan bahwa efisiensi anggaran tidak akan menyentuh sektor pendidikan. "Mahasiswa perlu lebih jeli dalam memahami kebijakan ini. Kami berkomitmen bahwa biaya pendidikan tidak akan terdampak," jelasnya dalam konferensi pers.
Namun pernyataan tersebut dianggap tidak menyentuh akar permasalahan. "Kami tidak hanya berbicara tentang pendidikan, tapi seluruh aspek kehidupan masyarakat," tanggap Herianto. "Ketika anggaran kesehatan dipangkas, ketika infrastruktur di daerah terpencil ditunda, ketika program-program sosial dikurangi—siapa yang paling merasakan dampaknya kalau bukan rakyat kecil?"
Apa yang terjadi di jalanan Jakarta dan kota-kota besar Indonesia bukanlah sekadar protes anggaran. Ini adalah pergulatan tentang arah demokrasi Indonesia. Ketika proyek-proyek pembangunan dilaksanakan tanpa transparansi, ketika kebijakan publik diambil tanpa pelibatan masyarakat, dan ketika kekuatan militer kembali menguat dalam ranah sipil—mahasiswa melihat lampu-lampu demokrasi mulai meredup.
"Indonesia Gelap bukan sekadar metafora," tutur seorang mahasiswi dari Universitas Indonesia yang ikut berdemonstrasi. "Ini peringatan bahwa jika kita tidak waspada, kegelapan otoritarianisme bisa kembali menyelimuti negeri ini."
Bagi 481 kepala daerah yang baru dilantik, aksi "Indonesia Gelap" menjadi pesan kuat bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab kepada atasan di Jakarta, tetapi juga kepada rakyat di daerah masing-masing. Mereka diharapkan menjadi penyeimbang kekuatan, suara kritis terhadap kebijakan pusat yang berpotensi merugikan daerah.
"Jangan sampai otonomi daerah hanya menjadi slogan kosong," tegas Herianto. "Kepala daerah harus berani membela kepentingan masyarakatnya, bahkan jika itu berarti berseberangan dengan kebijakan pusat."
Aksi "Indonesia Gelap" menjadi cermin kegelisahan generasi muda terhadap arah pembangunan Indonesia. Mereka tidak hanya mempertanyakan efisiensi anggaran, tetapi juga kualitas demokrasi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.
Bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang masih relatif baru, ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Dialog substantif—bukan sekadar pertemuan seremonial—menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan persepsi dan membangun kepercayaan publik.
Sementara itu, mahasiswa telah mengirimkan pesan jelas: mereka akan terus mengawasi, mengkritisi, dan bila perlu, turun ke jalan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kembali ke masa gelap otoritarianisme.
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia memiliki berbagai aliran pemikiran yang berpengaruh dalam memahami kondisi psikologis individu. Aliran-aliran ini tidak hanya penting dalam konteks terapi atau pendidikan, tetapi juga dalam penerapan prinsip keadilan sosial, terutama dalam memberikan bantuan hukum kepada kaum marjinal.
Dalam lanskap kompleks sistem hukum modern, kaum marjinal—mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial ekonomi, diskriminasi sistemik, atau keterbatasan akses terhadap sumber daya—seringkali menghadapi tantangan berlapis dalam memperoleh keadilan. Seorang buruh pabrik yang mengalami kecelakaan kerja mungkin tidak hanya berjuang melawan perusahaan besar dengan tim hukum yang kuat, tetapi juga melawan ketakutan, trauma psikologis, dan ketidakpahaman terhadap sistem hukum yang rumit. Seorang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya membutuhkan perlindungan hukum, tetapi juga dukungan untuk mengatasi trauma psikologis dan membangun kembali kepercayaan dirinya.
Kondisi psikologis kaum marjinal yang kompleks ini menuntut pendekatan bantuan hukum yang holistik dan empatik. Di sinilah berbagai aliran psikologi menjadi relevan sebagai kerangka teoritis untuk memahami dan merespons kebutuhan mereka. Humanisme, dengan penekanannya pada martabat dan potensi manusia, menawarkan perspektif bahwa setiap individu—terlepas dari status sosial ekonominya—memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan akses terhadap keadilan. Aliran ini memandang bahwa bantuan hukum bukan sekadar memberikan representasi di pengadilan, tetapi juga memberdayakan individu untuk memahami hak-haknya dan mengambil kontrol atas situasi hidupnya.
Empirisme dan sensasionalisme memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana pengalaman hidup kaum marjinal membentuk persepsi mereka terhadap sistem hukum. Seorang pemulung yang berulang kali mengalami diskriminasi dari aparat akan mengembangkan ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum berdasarkan pengalaman sensorinya. Pemahaman ini membantu praktisi bantuan hukum untuk tidak menghakimi sikap skeptis atau resistensi klien mereka, melainkan melihatnya sebagai respons rasional terhadap pengalaman hidup yang pahit.
Sementara itu, positivisme menekankan pentingnya data dan fakta dalam memahami kondisi kaum marjinal. Dalam konteks bantuan hukum, pendekatan positivistik membantu dalam mengumpulkan bukti-bukti empiris tentang ketidakadilan sistemik, pola diskriminasi, dan dampak psikologis dari marginalisasi. Data statistik tentang tingkat kemiskinan, akses terhadap pendidikan, dan prevalensi kekerasan dalam komunitas tertentu menjadi dasar untuk merancang strategi bantuan hukum yang efektif dan targeted.
Integrasi keempat aliran psikologi ini dalam praktik bantuan hukum menciptakan pendekatan yang komprehensif dan sensitif terhadap kebutuhan kaum marjinal. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada aspek legal teknis, tetapi juga mempertimbangkan dimensi psikologis, sosial, dan kultural yang mempengaruhi akses terhadap keadilan. Dengan demikian, bantuan hukum menjadi lebih dari sekadar layanan profesional—ia menjadi instrumen transformasi sosial yang dapat memutus siklus marginalisasi dan memberdayakan individu serta komunitas untuk mencapai keadilan yang substantif.